Sabtu, 05 Desember 2009

Potret Positif Punk Bandung
Gifran Muhammad Asri

Pada awal kelahirannya, punk memang teridentifikasi sebagai pemberontakan.
Pemberontakan Punk dinyatakan dengan pemberontakan semiotik yang diaplikasikan pada
fesyen dan musik. Namun pemberontakan tersebut pula yang dijual oleh industri dan
dijadikan sebagai sumber profit yang dapat dieksploitasi. Hal ini ditandai dengan
bergabungnya Sex Pistols, salah satu band Punk generasi tahun 70an, dengan industri musik
mainstream EMI. Kemudian pasar industri musik dipenuhi dengan band-band kloning mereka
yang merubah subkultur punk menjadi sesuatu yang mapan. Pemberontakan dapat dibeli.
Akhir dari era Sex Pistols ini, merupakan titik balik sejarah perkembangan Punk.

Ketika Punk menjadi komoditas pasar yang dapat dieksploitasi, individu yang terlibat dalam
sub kultur ini mengasingkan diri kembali. Sehingga Punk berpindah ke bawah tanah, tetap
eksis tetapi tidak terliput mainstream. Justru setelah era Sex Pistols tersebut, Punk
berkembang dengan pesat melalui jaringan pertemanan yang independen. Perkembangan
Punk setelah tahun 70-an ditandai dengan berpindahnya aktivitas Punk dari Inggris ke
Amerika. Disanalah scene-scene Punk menjamur. Pemberontakan semiotik telah mengalami
banyak perubahan meskipun tidak total. Pada generasi ini, akan sulit untuk melihat Punk
semata mata dengan penandaan pencitraan atau imaji belaka (baca: fesyen). Diinspirasi
oleh tulisan-tulisan Situasionis, pemicu pemberontakan May 1968 di Paris, Punk seolah-olah
merubah strategi dari semata-mata pemberontakan semiotik menjadi sebuah gerakan gaya
hidup tandingan.

Punk generasi kedua ini memfokuskan pada isu-isu dan aktvitas independen yang lebih
politis daripada generasi Sex Pistols seperti isu feminisme, gender, pemberdayaan
komunitas, independensi, rasisme, isu anti-perang dan lain-lain. Semua ini merupakan isu
komunal yang beredar diantara komunitas Punk sendiri dalam rangka melawan informasi
dari budaya mainstream.

Dengan peranan media mainstream yang meliput Punk generasi Sex Pistols, banyak remaja
yang terjebak miskonsepsi tentang ideologi pemberontakan ala Punk. Banyak remaja yang
merasa cocok dengan image pemberontakan lalu mengadaptasi fashion dan musik Punk.
Sebagian dari mereka hanya ingin tampil beda di masyarakat dengan pemahaman yang
setengah-setengah mengenai Punk.

Dengan pemahaman yang setengah-setengah ini, remaja mengartikan Punk sebagai hidup
bebas tanpa aturan. Akibatnya, banyak dari mereka yang melakukan tindakan-tindakan
yang meresahkan masyarakat. Salah satu contoh kecilnya adalah mabuk-mabukan di muka umum secara bergerombol, meminta uang secara paksa kepada masyarakat, dan lain
sebagainya. Masyarakat yang awam mengenai Punk menarik kesimpulan bahwa Punk adalah
segerombolan remaja yang berperilaku seperti itu. Didukung dengan hingar bingar musik
Punk dan lirik yang berisi kecaman-kecaman pemberontakan mengakibatkan miringnya
persepsi masyrakat mengenai Punk. Bahkan ada juga masyarakat yang menganggap Punk
hanya sekedar aliran musik keras belaka.

Masuknya Punk ke Indonesia tidak lepas dari pemberitaan media mainstream. Di Indonesia,
kultur Punk dikenal pertamakali sebagai bentuk musikal dan fashion statement. Kultur Punk
telah hadir tanpa substansi sejak awal. Punk tidak hadir sebagai respon keterasingan dalam
masyarakat modern, melainkan dari sebuah kerinduan akan sebuah bentuk representasi
baru saat tak ada hal lama yang dapat merepresentasikan diri remaja lagi. Maka tidak
heran, apabila hal-hal yang substansial baru muncul bertahun tahun setelah Punk dikenal
secara musikal dan fashion statement. Ini adalah sebuah keterlanjuran.

Di Bandung, secara musikal Punk telah dikenal sejak tahun 70an akhir dimana hal ini
dibahas dalam majalah remaja Aktuil. Punk juga dibahas dalam majalah Hai pada tahun
80an. Kemudian gaya berpakaiannya juga diadopsi oleh beberapa preman jalannan. Baru di
penghujung tahun 80an bermunculan kelompok-kelompok Punk dari kelas menengah karena
pada saat itu hanya yang memiliki finansial tinggilah yang dapat mengakses produk dan
informasi kultur ini. Jadi pada kesimpulannya, kultur Punk memang hadir di Indonesia
tanpa hal-hal yang substansial, ia lahir sebagaimana produk postmodern lainnya, lahir tanpa
esensi. Ada banyak hal yang mendorong terjadinya hal-hal ini antara lain karena gap
bahasa, gap ekonomi, gap krisis masa muda.

Meskipun akhirnya substansi Punk hadir di Indonesia pada pertengahan tahun 90an melalui
akses internet, tak berbeda dengan yang terjadi di negara lain, di Indonesia Punk dianggap
sebagai segerombolan remaja biang onar atau sekedar aliran musik keras yang vokalisnya
meracau tak jelas. Padahal pada pertengahan tahun 90an, komunita Punk di Indonesia
merupakan komunitas Punk dengan jumlah populasi terbesar di dunia.

Penganut kultur punk (Punks) di Indonesia mulai mengadopsi substansi Punk yang termasuk
di dalamnya ideologi, etika DIY (Do It Yourself), pandangan politis, dan lain sebagainya.
Salah satunya adalah gaya hidup positif Straigh Edge yang menolak konsumsi alkohol, rokok,
obat-obatan terlarang, dan perilaku seks bebas.